Kepadanya yang Tak Pernah Tersampaikan

Selamat pagi, Ayah yang jelas tidak akan membaca tulisan saya yang saya tulis 100% masih terjaga pukul dua dini hari ini.

Ayah, saya tahu Ayah tidak pernah merayakan perayaan simbolik apapun. Sesederhana itu karena sejak kecil tidak ada tradisi yang mengikat Ayah untuk merayakan ulang tahun, hari jadi pernikahan, hari ibu, bahkan hari ayah. Ayah, sejujurnya, saya ingin merayakan momen-momen yang mungkin Ayah rasa tidak beresensi dan sekedar hura-hura saja bersama Ayah. Bukan perayaan yang seperti orang-orang lakukan dengan meniup lilin, memotong kue, atau makan malam bersama keluarga besar, saya hanya ingin menghabiskan waktu berbincang tanpa rasa canggung dengan Ayah ditemani kopi–minuman favorit kita–.

Ayah, selama ini saya tahu banyak hal yang telah Ayah lalui dan lewati. Ini terdengar sangat menggelikan dan cheesy memang, tapi karena itulah Ayah adalah Ayah yang saat ini saya ketahui. Ayah memang memiliki banyak lubang di sana-sini dan belum sempat ditutup kembali saat ini, namun sepertinya daripada Ayah memikirkan untuk menutup lubang, Ayah lebih memilih jalan lain. Keputusan yang Ayah ambil menurut saya selalu menghadirkan tanya dan rasa cemas bagi saya. Namun saya percaya, sesederhana itu karena Ayah berhasil mendidik saya selama 6 tahun dengan segala kelebihan dan kekurangan saat itu.

Ayah, sudah 9 tahun kita tidak tinggal bersama. Dipisahkan oleh jarak dan tanggung jawab, mau tidak mau, kita hanya punya satu pilihan kan? Ayah, selama itu pula saya berusaha untuk tidak kehilangan figure seorang Ayah, ya meskipun komunikasi di antara kita tidak se-intens dan sedekat itu. Sehingga, karena hal ini pula, saya merasa tumbuh menjauh dari Ayah. Pembicaraan kita via telepon dan pesan singkat pun terasa sangat canggung dan aneh, ya seaneh itu hingga Ayah harus mengecek lokasi keberadaan saya melalui Mama padahal jelas-jelas 1 menit sebelumnya Ayah mengirim pesan singkat menanyakan apakah saya sudah beristirahat di kost-an atau belum. Ayah, ada kalanya saya sangat ingin menghilangkan tembok kecanggungan itu, tapi saya rasa tidak ada yang perlu diubah karena mungkin Ayah merasa hal itu normal-normal saja.

Ayah, selama sembilan belas tahun berada langsung-tak langsung dibawah arahan dan pantauan Ayah, saya menilai Ayah bukan sosok seorang diktator yang memberikan hanya 1 pilihan. Terlebih, Ayah memberikan kebebasan dalam hal apapun itu kepada saya. Saya sangat bahagia karena mungkin ayah-ayah lain di luar sana hanya mengajukan 1 opsi jawaban.

Ayah, rasa bangga selalu ada dalam diri saya ketika saya tahu Ayah tidak pernah mengeluh kepada siapa-siapa tapi hanya kepada-Nya yang menguasai semesta. Mengadu dan memohon di sepertiga malam terakhir diiringi oleh isak tangis yang jarang saya dengar membuktikan bahwa Ayah adalah pribadi yang sangat religious. Hal ini adalah hal yang selalu ingin saya contoh, namun saya belum sanggup mencapai level itu, Ayah. Ya sesederhana karena meng-update­ status di LINE mendatangkan banyak komentar atau caption puitis dan berkonten curhat foto di Instagram mengundang banyak likes. Dibandingkan Ayah, saya jauh. Jauh lebih kecil, jauh lebih kerdil.

Ayah, sesungguhnya, saya menulis ini sebagai salah satu bentuk perayaan yang tak pernah kita rayakan terkait hari ayah. Saya yang terlihat dingin dan berlindung dibalik tembok yang mungkin Ayah coba hancurkan tiap kali kita berkomunikasi selalu ingin menjadi anak perempuan selayaknya yang Ayah idam-idamkan. Sedihnya, saya hanyalah saya yang keras kepala tidak pernah mencoba untuk membongkar kembali tembok di antara kita yang sudah ada.

Ayah, saya senang mendapat sms sama setiap harinya menanyakan apakah saya sudah makan atau minum obat, menanyakan dimana saya berada, hingga hal-hal random yang Ayah lontarkan terkait dulu ketika Ayah SMA mendapat pelajaran termodinamika juga.

Ayah, saya bahagia ketika Ayah mencoba menerangkan cara kerja sekring listrik untuk persiapan lomba saya ketika kelas 5 di pendidikan sekolah dasar.

Ayah, saya bersyukur memiliki Ayah yang seperti Ayah, yang dibentur kanan kiri tapi tetap selalu berjalan konstan tanpa hambatan di tengah.

Ayah, saya beryukur memiliki Ayah seperti Ayah meskipun dinilai gagal dalam kembali mengutuhkan keluarga, tapi itu semua memberi pelajaran bagi saya bahwa keluarga pun bukan sesuatu yang dapat diciptakan mendekati ideal bahkan dengan persiapan emosi dan finansial yang cukup matang.

Terima kasih atas pembelajaran hidup yang Ayah berikan berkala kepada saya.

Ketahuilah, Ayah tetaplah sosok seorang laki-laki nomor 1 yang akan menjadi perbandingan dengan laki-laki lain ketika di masa yang akan datang saya memutuskan untuk tidak melajang.

Selamat hari ayah lebih satu hari, Ayahku!

03.21 WIB | Bandung, 13 November 2015

yang sedang mencari nilai diri,

NFEP.

2 pemikiran pada “Kepadanya yang Tak Pernah Tersampaikan

Tinggalkan komentar